0
Posted by ANGGRAINIREGINA on 05:07
Tugas dibawah ini bisa didownload dalam bentuk:
DOC atau PDF




TUGAS MIKROBIOLOGI PANGAN
VIBRIO PARAHAEMOLYTICUS 

I . Latar Belakang
            Infeksi yang disebabkan oleh Vibrio telah terbukti sebagai faktor etiologi utama dalam terjadinya: gastroenteritis, infeksi pada luka dan septicimia. Banyak kasus gastroenteritis yang dikaitkan dengan Vibiro secara teori tidak dikenal, karena Vibrio tidak ditemukan dalam kotoran manusia. Beberapa data epidemiologi menunjukkan kebanyakan infeksi ini didasari oleh infeksi foodborne dari konsumsi bahan pangan berupa kerang-kerangan yang dikonsumsi dalam bentuk mentah atau tidak matang sempurna. Membuat beberapa penyedia kesehatan harus mengevaluasi sejarah perjalanan sebelumnya yang dilakukan oleh pasien yang pada saat didiagnosis mengalami keadaan diare akut.
            Genus Vibrio ini turunan dari family Vibrionaceae, yang termasuk didalamnya genera Aeromonas, Plesiomonas dan Photobacterium (Atlas 1997). Terdapat 30 jenis genus Vibrio, 13 diantaranya memiliki sifat patogenik pada manusia termasuk didalamnya V. cholerae, V. mimicus, V. fluvialis, V. parahaemolyticus, V. alginolyticus, V. cincinatiensis, V. hollisae, V. vulnificus, V. furnissii, V. damsela, V. metshnikovii dan V. carchariae. Ketiga belas jenis vibrio ini telah dilaporkan memiliki andil dalam terjadinya penyakit oleh foodborne, tetapi V. cholera, V. parahaemolyticus dan V. vulnificus dianggap sebagai agen yang paling signifikan1.
            Vibrio parahaemolyticus dan Vibrio fulnificus merupakan patogen bagi manusia yang terdapat secara natural didalam lingkungan perairan lautan ( Oliver and kaper 1997; West 1989). Beberapa proses panen, termasuk pengolahan pasteurisasi dengan temperatur rendah dan iradiasi telah digunakan untuk mengurangi kontaminasi Vibrio2.
Seperti produk hewani lainnya, ikan merupakan sumber pangan yang mudah rusak. Dengan kandungan air dan protein tinggi, ikan merupakan tempat sangat cocok sebagai media untuk pertumbuhan mikroba baik patogen maupun nonpatogen. Kerusakan ikan terjadi segera setelah ikan keluar dari air, namun aktivitas mikroba yang akan merusak daging ikan baru terjadi setelah ikan melewati fase rigor mortis.
Kerusakan pada ikan dapat disebabkan oleh faktor internal (isi perut) dan eksternal (lingkungan), maupun cara penanganan di atas kapal, ditempat pendaratan atau di tempat pengolahan. Kerusakan ikan ditandai dengan adanya lendir di permukaan ikan, insang memudar (tidak merah), mata tidak bening, berbau busuk, dan sisik mudah terkelupas. Ikan dari perairan pantai sering kali tercemar oleh bakteri Vibrio parahaemolyticus yang dapat menular pada saat transportasi maupun pemasaran.
Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan, cemaran bakteri Vibrio sp dan bakteri pathogen lainnya dalam produk pangan harus negatif, artinya tidak boleh ada.

II. Tujuan
            Untuk mengetahui jalur kontaminasi dari Vibrio parahaemolyticus, akibatnya bagi manusia, dan cara pencegahan serta pengobatannya.

A.           Morfologi
Vibrio parahaemolyticus pertama kali diindentifikasikan sebagai penyakit akibat jalur fooborne pada tahun 1950. Kasus pertama yang dikonfirmasikan terjadi di Amerika pada tahun 1971 dan diasosiasikan dengan konsumsi dari kepiting. Selama hampir kurang lebih 3 abad, Vibrio parahaemolyticus diimplikasikan sebagai sebab umum dari gastroenteritis berkaitan dengan seafood (makanan laut).
Gbr. 1 Vibrio parahaemolyticus menggunakan TEM





-       Sifat Fisiologis dan Biokimia:
Pada biakkan, dapat dilihat bahwa Vibrio membentuk koloni yang cembung (convex), bulat, halus/smooth, opak, dan tampak bergranula bila diamati dibawah sinar cahaya. Bersifat halofilik dan dapat tumbuh optimal pada air laut bersalinitas 20-40 ‰ tetapi tidak tahan asam sehingga bakteri Vibrio dapat tumbuh pada pH 4 – 9 dan tumbuh optimal pada pH 6,5 – 8,5 atau kondisi alkali dengan pH 9,0 . Vibrio juga bersifat aerob atau anaerob fakultatif yaitu dapat hidup baik dengan atau tanpa oksigen. Sifat biokimia Vibrio adalah dapat meragikan sukrosa, glukosa, dan manitol menjadi asam tanpa menghasilkan gas, Sedangkan laktosa dapat diragikan tetapi lambat. Vibrio juga dapat meragikan nitrat menjadi nitrit. Pada medium pepton (banyak mengandung triptofan dan nitrat) akan membentuk indol, yang dengan asam sulfat akanmembentuk warna merah sehingga tes indol dinyatakan positif.
-       Agen: Vibrio parahaemolyticus merupakan Vibrio (bakteri) yang secara natural berada pada lingkungan perairan lautan3.
-       Periode Inkubasi: onset terjadinya penyakit dari 4 sampai 30 jam setelah terpapar (biasanya 12-24 jam)3.
-       Sifat Patogenitas:
Dalam keadaan alamiah, bakteri ini hanya patogen terhadap manusia, tetapi secara eksperimen dapat juga menginfeksi hewan. Hewan laut yang telah terinfeksi Vibrio khususnya Udang, akan mengalami kondisi tubuh lemah, berenang lambat, nafsu makan hilang, badan mempunyai bercak merah-merah (red discoloration) pada pleopod dan abdominal serta pada malam hari terlihat menyala. Udang yang terkena Vibriosis akan menunjukkan gejala nekrosis. Serta bagian mulut yang kehitaman adalah kolonisasi bakteri pada esophagus dan mulut. Vibrio tidak bersifat invasif, yaitu tidak pernah masuk kedalam sirkulasi darah tetapi menetap di usus sehingga dapat menyebabkan gastritis pada manusia. Masa inkubasi bakteri ini antara 6 jam sampai 5 hari. Vibrio menghasilkan enterotoksin yang tidak tahan asam dan panas, musinase, dan eksotoksin. Toksin diserap dipermukaan gangliosida selepitel dan merangsang hipersekresi air dan klorida sehingga menghambat absorpsinatrium. Akibat kehilangan banyak cairan dan elektrolit, terjadilah kram perut, mual, muntah, dehidrasi, dan shock (turunnya laju aliran darah secara tiba-tiba).
Kematian dapat terjadi apabila korban kehilangan cairan dan elektrolit dalam jumlah besar.Penyakit ini disebabkan karena korban mengkonsumsi bakteri hidup, yang kemudian melekat pada usus halus dan menghasilkan toksin. Produksi toksin oleh bakteri yang melekat ini menyebabkan diare berair yang merupakan gejala penyakit ini.
Proses ini dapat dibuktikan dengan pemberian viseral antibodi. Bila terjadi dehidrasi, maka diberikanlah cairan elektrolit. Immunitas pasif dapat dilakukan dengan memberikan viseral antibodi dan viseral antitoksin yang dapat mengurangi cairan tanpa mematikan kuman. Vibrio jenis lain juga dapat menghasilkan soluble hemolysin yang dapat melisiskan sel darah merah. Struktur antigen Vibrio baik yang patogen maupun nonpatogen memiliki antigen-H tunggal yang sejenis dan tidak tahan panas. Antigen-H ini sangat heterogen dan juga banyak terjadi overlapping dengan bakteri lain.Gartnor dan Venkatraman membagi antigen-O Vibrio menjadi grup O1-O6. Yang patogen bagi manusia adalah grup O1 dari Vibrio coma. Antibodi terhadap antigen-O bersifat protektif sehingga Ogawa, Inaba, dan Hikojima membagi tiga serotip yang mewakili tiga faktor gen yaitu A, B, dan C
Antara tahun 1988 dan 1997, review pada infeksi Vibrio parahaemolyticus di Amerika didapatkan antara 59% mengalami gastroenteritis, 34% infeksi pada luka, 5% septicema dan 2% infeksi lainnya.

Vibrio parahaemolyticus merupakan bakteri Gram Negatif, berbentuk seperti batang yang secara natural ada di lingkungan laut. Transmisi dari infeksi Vibrio secara primer melalui konsumsi dari kerang-kerangan yang mentah atau kurang matang, atau ekspos dari luka yang terbuka oleh air laut yang berbahaya.




Gbr. 2 Vibrio parahaemolyticus yang dikulturkan.










Gbr. 3 Vibrio parahaemolyticus






-       Manifetasi Klinik:

Manifetasi klinik yang paling umum terjadi adalah gastroenteritis yang self-limited (bisa sembuh sendiri), tetapi infeksi pada luka dan septicemia primer juga bisa terjadi.
Seafood yang merupakan produk hasil laut, memberikan semua kondisi yang dibutuhkan oleh Vibrio parahaemolyticus untuk tumbuh dan berkembang biak: keberadaan garam, nutrien yang baik serta pH dan Aw yang cocok sehingga Vibrio parahaemolyticus sering terdapat sebagai flora normal di dalam seafood. Mereka terkonsentrasi dalam saluran pencernaan moluska, seperti kerang, tiram dan mussel yang me ndapatkan makanannya dengan cara mengambil dan menyaring air laut.
Pasien yang memiliki penyakit hati (liver disease) memiliki resiko yang tinggi mengalami kematian dan kesakitan yang diasosiasikan dengan infeksi ini.
Gejala penyakit ini ada dalam tahap ringan sampai sedang,dan self limited, walaupun beberapa kasus memerlukan perwatan intensif dari rumah sakit.

B.           Taksonomi
Klasifikasi
Nama
Kingdom
Eubacteria
Divisi
Bacteri
Class
Schizomycetes
Ordo
Eubacteriales
Famili
Vibrionaceae
Genus
Vibrio
Species
• Vibrio anguilarum,
• Vibrio alginolyticus,
• Vibrio cholerae,
• Vibrio salmonicida,
• Vibrio vulnificus,
Vibrio parahaemolyticus



Secara umum, Vibrio parahaemolyticus muncul diasosiasikan dengan habitat yang mengandung nutrisi. Ini berhubungan dengan baik pada kemampuan spesifik dari vibrio dalam menggunakan berbagai macam jenis dari biokemikal organik. Beberapa data juga menunjukkan bahwa lingkungan yang terpapar dari kotoran hewan mengandung Vibrio parahaemolyticus lebih tinggi dibanding lingkungan perairan yang rendah bahan-bahan organik. Korelasi ini memerlukan investigasi lebih lanjut5.
Manusia/seseorang yang menelan vibrio melalui konsumsi dari air atau makanan yang terkontaminasi bisa mengakibatkan gastroenteritis3.
Faktor virulensi yang berperan akibat Vibrio parahaemolyticus patogen menyebabkan beta-hemolysis, faktor adherence/ketaatan, berbagai macam enzim dan hasil produk dari tdh, trh dan gen ure. Patogenitas Vibrio parahaemolyticus sendiri diasosiasikan dengan fenomena kanagawa (KP).
Pengkonsumsian dari moluska mentah, atau organisme penyaring lainnya dapat meningkatkan konsetrasi bakteri dalam jumlah besar bagi yang mengkonsumsi. Beberapa proses panen, termasuk pengolahan pasteurisasi dengan temperatur rendah dan iradiasi telah digunakan untuk mengurangi kontaminasi Vibrio.
-       Gejala: yang paling sering terjadi adalah diare berair dan kram dibagian abdominal, orang tersebut bisa mengalami mual, muntah, demam dan sakit kepala. Buang air besar berdarah dan mangandung mucoid sering dilaporkan terjadi, sedangkan kegagalan sistem organ atau kematian merupakan hal yang jarang3.
-       Durasi penyakit atau perawatan: gejala simptomatis dalam kurun waktu 1-7 hari. Tidak ada perawatan yang spesifik dalam infeksi yang diakibatkan oleh Vibrio parahaemolyticus.
-       Deteksi dan inisiasi: Deteksi dini dan perawatan inisiasi dari infkesi vibrio ini sangatlah penting, apalagi untuk jenis seperti Cholera dan Vibrio parahaemolyticus karena bisa secara cepat menyebabkan kematian. Pencegahan dari infeksi Vibrio ini adalah dengan meningkatkan dan menegaskan kewaspadaan oleh clinician, teknisi laboratorium dan epidemiologis.
-       Contoh jenis Kasus:
Kasus-kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) Vibrio parahaemolyticus karena konsumsi seafood di dunia:
1)    Laki-laki dengan umur 50 tahun memiliki demam dengan temperatur 38,5oC dan lesi nekrotis pada kulit dilengan kirinya. Dia mengatakan bahwa ia mengalami luka kecil pada tangannya saat dia sedang memancing.sehari kemudian ia berenang di perairan Atlantis Selatan pinggir Florida. Hari berikutnya, disekitar luka mulai terlihat kemerahan, rasa sakit serta pembengkakkan. Pasien tersebut dibawa ke rumah sakit engan keluhan cellulitis dan diberikan cefazolin dan gentamicin. Cellulitis kemudian mulai menyebar dari lengan sampai keseluruhan tangan, menyebabkan ulcerasi dan nekrosis yang memerlukan debridement yang agresif. Pasien tersebut bisa disembuhkan namun hamper mengalamai amputasi pada tanganny. Dan diisolasikan Vibrio parahaemolyticus pada kultur luka yang dimilikinya.
2)    Beberapa kasus KLB V. parahaemolyticus di Chile karena konsumsi seafood mentah. Sebelum 2004, kasus keracunan karena V. parahaemolyticus jarang terjadi di Chile dan hal ini terkait dengan kondisi suhu perairan yang rendah (11-16°C). Pada saat KLB terjadi, suhu permukaan air laut mencapai 18.3–19.2°C (Puerto Montt, KLB 2004 dan 2005) dan 20°C (Antofagasta, KLB 1997–1998).
3)    Di Spanyol, rekaman medis dari beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa infeksi V. parahaemolyticus lebih sering dari yang diduga. Dari rekaman medis, V. parahaemolyticus teridentifikasi dari sampel klinis pasien gastroenteritis di Barcelona (1986, 1987 dan 1999), Zaragoza (1993) dan Madrid (1998 dan 2000). Kasus KLB terjadi pada tahun 1999 dan 2004, disebabkan oleh konsumsi seafood mentah dan yang telah dimasak. Kepiting rebus yang merupakan penyebab KLB Juli 2004, dimasak pada kondisi higiene dan sanitasi yang buruk dan kemudian disimpan di suhu ruang selama beberapa jam sebelum dikonsumsi8.
4)    Pada periode 1986 – 1995, setiap tahun rata-rata terjadi 85 KLB karena V. parahaemolyticus. Insiden KLB V. parahaemolyticus melonjak drastis pada 1996 dan bertahan hingga sekarang. Pada 1996–1999, 61-71% dari total KLB keracunan pangan di Taiwan disebabkan oleh V. parahaemolyticus 9.
5)    Di Amerika Serikat, sepanjang 1973 – 1998 terjadi 40 kasus KLB V. parahaemolyticus di 15 negara bagian dan wilayah Guam dengan 1064 penderita dan median tingkat serangan 56% (3 - 100%) dimana sebagian besar kasus terjadi di bulan Juli. Pembawa adalah seafood atau yang terkontaminasi dengan seafood, terutama yang dikonsumsi mentah (38% kasus) atau setengah matang. Penyebab utama adalah tiram dan kerang. Pada periode ini, 30% KLB terjadi pada 1997 – 1998 dan tiga diantaranya cukup besar. Pada Juli–Agustus 1997, keracunan disebabkan oleh konsumsi tiram mentah dari Puget Sound, Washington; dua kasus KLB gastroenteritis V. parahaemolyticus pada Mei–Juni 1998 terjadi karena mengkonsumsi tiram mentah yang berasal dari Galveston Bay, Texas dan di akhir Juli 1998, KLB V. parahaemolyticus terkait dengan konsumsi tiram dan kerang mentah yang berasal dari Teluk Oyster, Long Island, New York10.
6)    Kasus KLB juga terjadi di Alaska pada Juli 2004, yang disebabkan oleh tiram Alaska dengan tingkat serangan 29%. Suhu air laut di daerah pemanenan pada Juli 2006 tercatat di atas 15°C7.
7)    Kasus KLB V. parahaemolyticus di New York, Oregon dan Washington, kembali terjadi pada 20 Mei – 31 Juli 2006 setelah mengkonsumsi tiram dan remis dalam bentuk mentah atau masak yang dimakan di restoran. Dari 177 kasus yang secara epidemiologis terhubung dengan infeksi V. parahaemolyticus, 41% positif disebabkan oleh Vp berdasarkan analisis sampel klinis penderita. Tiram dan remis berasal dari daerah pantai Washington dan British Columbia, Canada; yang didistribusikan secara nasional ke pasar ikan dan restoran. Luasnya daerah pemasaran berdampak pada meluasnya daerah sebaran penyakit. Pada KLB 2006, 122 kasus berasal dari 17 sumber seafood yang sama. Kasus ini berimplikasi pada penutupan perusahaan pemanenan tiram yang merupakan pemasok utama tiram penyebab KLB10.

Dari beberapa kasus KLB yang terjadi dapat disimpulkan bahwa keracunan karena V. parahaemolyticus merupakan kasus musiman yang kemunculannya sangat terkait dengan meningkatnya suhu perairan. Dari data yang ditampilkan terlihat bahwa keracunan biasanya terjadi pada bulan-bulan yang suhunya hangat (musim panas), dimana suhu permukaan laut lebih besar dari 15°C. Seafood yang paling sering dilaporkan sebagai penyebab keracunan adalah tiram dan kerang. Besarnya frekuensi keracunan karena V. parahaemolyticus terkait juga dengan cara mengkonsumsi seafood.
Besarnya prevalensi kasus keracunan V. parahaemolyticus di Taiwan disebabkan oleh kebiasaan masyarakatnya untuk mengkonsumsi seafood dalam kondisi mentah. Kondisi yang sama tampaknya juga terjadi di beberapa negara Asia lainnya yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi seafood mentah, seperti Jepang dan Thailand. Pada kasus keracunan yang terjadi setelah mengkonsumsi seafood yang dimasak, faktor penyebab adalah proses pemasakan yang tidak sempurna sehingga tidak membunuh semua V. parahaemolyticus yang ada, atau proses penanganan yang buruk (kondisi higiene dan sanitasi tidak terjaga, seafood disimpan disuhu ruang selama beberapa jam sebelum diolah/dikonsumsi, atau terjadinya kontaminasi silang antara produk yang telah dimasak dengan produk mentah)7.

-       Dosis yang menyebabkan manifestasi: Sebuah studi menunjukkan bahwa dosis V. parahaemolyticus yang terkonsumsi bisa menyebabkan infeksi berkisar antara 105 sampai 107 sel hidup (viable) yang tertelan.


D.   Akibat
Antara tahun 1988 dan 1997, review pada infeksi V. parahaemolyticus di Amerika didapatkan antara 59% mengalami gastroenteritis, 34% infeksi pada luka, 5%septicemoa dan 2% infeksi lainnya.
Bukti-bukti yang menunjukkan adanya keterlibatan Vibrio parahaemolyticus dalam beberapa insiden keracunan makanan akibat konsumsi kerang-kerangan. Pada sampel kerang-kerangan yang dites, ternyata mengimplikasi kadar Vibrio parahaemolyticus yang tinggi, dengan perhitungan antara 100.000 sampai 10juta per gram daging kerang-kerangan, diamana bakteri entero patogen dan virus tidak ditemukan6.
Keadaan yang sering terjadi jika seseorang terkontaminasi dan terinfeksi oleh Vibrio parahaemolyticus:
1)    Gastroenteritis, yang paling sering terjadi adalah kondisi diare berair dan kram dibagian abdominal, orang tersebut bisa mengalami mual, muntah, demam dan sakit kepala. Buang air besar berdarah dan mangandung mucoid sering dilaporkan terjadi, sedangkan kegagalan sistem organ atau kematian merupakan hal yang jarang3.
2)    Muntaber atau Vibrio Parahaemolyticus Enteritis adalah keadaan di mana seseorang menderita muntah-muntah disertai buang air besar berkali-kali. Kejadian itu dapat berulang tiga sampai lebih sepuluh kali dalam sehari. Terjadi perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, melembek sampai mencair, yang kadang juga mengandung darah atau lendir. Lazimnya, penyakit muntaber memang menyerang anak-anak, terutama pada usia dua hingga delapan tahun. Mereka mudah tertular karena daya tahan tubuhnya belum sekuat orang dewasa.
Penyebab utama muntaber adalah peradangan usus oleh bakteri, virus, parasit lain (jamur, cacing, protozoa), keracunan makanan (sering disebabkan oleh makanan laut/seafood) atau minuman yang disebabkan oleh bakteri maupun bahan kimia serta kurang gizi,
Muntaber yang disebabkan oleh bakteri Vibrio parahaemolyticus yang
Banyak diantara penderita muntaber yang melakukan terapi-terapi dalam mengatasi penyakit yang dialaminya. Baik sendiri maupun dengan ditangani dokter.
3)    Septicemia fulminat dari V. parahaemolyticus dilaporkan memiliki karakteristik: erythema sindrom, anemia hemolitik dan hipotensi sama seperti enterici bakteri lainnya seperti Salmonella, Shigella, Campylobacter dan Yersinia, V. parahaemolyticus juga terdapat indikasi arthritis reaktif atau sindrom Reiter4.

E.   Pencegahan
  1. Pengaruh penanganan pasca panen terhadap prevalensi dan tingkat cemaran Vp di dalam seafood
Vibrio parahaemolyticus menyukai kisaran suhu 5 - 43°C untuk pertumbuhannya, dengan suhu pertumbuhan optimum 37°C. Pertumbuhan berlangsung cepat pada kondisi suhu optimum, dengan waktu generasi hanya 9–10 menit. Nilai pH optimum pertumbuhan V. parahaemolyticus adalah 4.8–11, dan ketahanan terhadap keasaman akan meningkat jika suhu lingkungan mendekati kondisi suhu pertumbuhan optimum. Walaupun lebih menyukai kondisi lingkungan anaerob untuk pertumbuhannya, V. parahaemolyticus juga dapat tumbuh pada kondisi aerob. Bakteri ini tergolong halofilik dengan kadar NaCl o ptimum 3% dan membutuhkan aw 0.94-0.99 dengan optimum 0.98 untuk pertumbuhannya9.
Seafood yang berasal dari daerah laut, memberikan semua kondisi yang dibutuhkan oleh V. parahaemolyticus untuk tumbuh dan berkembang biak. Guna mencegah terjadinya bahaya karena mengkonsumsi seafood, perlu dilihat prevalensi dan tingkat kontaminasi Vp pada seafood yang dijual di tingkat ritel serta pengaruh kondisi penanganan pasca panen seafood terhadap prevalensi dan tingkat kontaminasi Vp didalamnya.
Pada beberapa kasus yang meneliti prevalensi dan tingkat kontaminasi V. parahaemolyticus didalam seafood selama terjadinya KLB diketahui bahwa jumlah V. parahaemolyticus di dalam sampel selama periode kejadian tersebut jauh lebih kecil dari batas maksimum yang diijinkan oleh FDA, yaitu 104 sel per-gram. Rendahnya tingkat kontaminasi V. parahaemolyticus (<104 sel per-gram) di dalam sampel seafood yang diambil dari tempat asal seafood penyebab kontaminasi ini menyebabkan perlunya peninjauan kembali terhadap batas maksimal tingkat cemaran V. parahaemolyticus yang diijinkan di dalam seafood terutama yang akan dikonsumsi mentah. Rendahnya prevalensi dan tingkat cemaran V. parahaemolyticus patogen (<100 sel per-gram) di dalam seafood yang terdeteksi selama terjadinya KLB, menyebabkan perlu pula dibuat standar tingkat kontaminasi V. parahaemolyticus patogen maksimal di dalam seafood terutama yang akan dikonsumsi.
Terjadinya kasus epidemik yang besar dengan mengkonsumsi seafood yang terdeteksi hanya mengandung V. parahaemolyticus dalam jumlah kecil dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Untuk Vp patogen, penelitian Osawa dan Yamai (1996) secara in vitro membuktikan bahwa kemampuan V. parahaemolyticus patogen memproduksi tdh dapat diperkaya oleh adanya asam empedu terkonjugasi, asam glikokolat dan asam taurokolat. Selain itu, diduga bahwa dosis infeksi dari strain patogen sangat rendah7.
Pertumbuhan V. parahaemolyticus berlangsung cepat pada penyimpanan di suhu ruang dan dapat diperlambat atau diturunkan dengan penyimpanan di suhu rendah. Didalam media hancuran tiram, jumlah V. parahaemolyticus dapat diturunkan jika suhu penyimpanan adalah 4, 0, -18 atau –24°C. Penurunan jumlah V. parahaemolyticus sebesar 7% per-hari juga dilaporkan terjadi pada tiram yang disimpan pada kondisi komersial7. Pada penelitian lain, pertumbuhan V. parahaemolyticus didalam tiram diukur pada 26°C, menunjukkan peningkatan sebesar log 1.7 setelah penyimpanan 10 jam dan log 2.9 setelah penyimpanan 24 jam10. Jika sampel tiram kemudian disimpan pada 3°C, maka jumlah V. parahaemolyticus akan menurun sebesar log 0.8 setelah 14 hari penyimpanan.
  1. Pencegahan yang efektif
Dari laporan penelitian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pada seafood yang disimpan di suhu refrigerasi, tidak terjadi pertumbuhan dan malahan terjadi penurunan jumlah dari V. parahaemolyticus. Hanya saja, pemanenan yang berlangsung pada kondisi suhu air yang relatif tinggi (misalnya di musim panas), mungkin menyebabkan seafood mengalami penundaan waktu untuk mencapai suhu aman (suhu refrigerasi) yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan V. parahaemolyticus pada periode itu. Selain hal ini, faktor keterlambatan penyimpanan di suhu rendah juga menyebabkan peningkatan jumlah V. parahaemolyticus.
Beberapa proses penanganan pasca panen efektif untuk menekan tingkat kontaminasi V. parahaemolyticus didalam seafood. Proses pasteurisasi tiram pada suhu 50°C selama minimal 10 menit efektif untuk menurunkan jumlah V. parahaemolyticus dari >10000 koloni menjadi tidak terdeteksi10. Proses iradiasi sinar gamma (Co60) juga dapat menurunkan tingkat kontaminasi V. parahaemolyticus8. Dosis 1 kGy bisa menurunkan tingkat kontaminasi V. parahaemolyticus sebesar 6-10 log. Sampai dosis 3 kGy, proses tidak membunuh tiram dan juga tidak menyebabkan penyimpangan bau, flavor dan penampakan tiram.

F. Perawatan/pengobatan:
V. parahaemolyticus strain yang menyebabkan gastroenteritis bisa diaplikasikan agen antimikroba yang bisa digunakan sebagai infeksi enteric, walaupun beberapa pasien dengan gastroenteritis secara efektif bisa diobati dengan rehidrasi oral. Namun pasien dengan infeksi luka dan septicemia akibat V. parahaemolyticus bisa menggunakan agen intrevena antimikroba4.
Resistensi: Resistensi sel mikroba adalah suatu sifat tidak terganggunya sel mikroba oleh antibiotik. Sejumlah isolat Vibrio yang diisolasi dari udang ternyata resisten terhadap berbagaimacam antibiotik seperti spektinomisin, amoksisilin, kloramfenikol, eritromisin,kanamisin, tetrasiklin, ampisilin, streptomisin, dan rifampisin. 

A.  Kesimpulan
1.      Seafood terutama tiram yang dimakan mentah merupakan jenis pangan yang paling sering membawa V. parahaemolyticus penyebab gastroenteritis. Kasus keracunan karena V. parahaemolyticus lebih banyak terjadi pada musim panas.
2.      Vibrio parahaemolyticus yang tertelan atau masuk kedalam luka terbuka pada tubuh manusialah yang bisa menyebabkan terjadinya infeksi.
3.      Prevalensi dan jumlah kontaminasi V. parahaemolyticus pada sampel seafood lingkungan meningkat dengan meningkatnya suhu perairan. Tingkat salinitas air laut juga berpengaruh pada tingkat kontaminasi.
4.      Praktek penyimpanan di suhu rendah (<4°C) dapat menekan dan menurunkan tingkat pertumbuhan V. parahaemolyticus. Selain itu, proses pasteurisasi minimal (50°C, 15 menit) dan iradiasi sinar gamma 3 kGy dapat meningkatkan keamanan pangan dari produk-produk seafood.

DAFTAR PUSTAKA
1)    Drake, Stephanie L, Angelo DePaola dan Lee-Ann Jaykus. An Overview of Vibrio vulnificus and Vibrio parahaemolyticus (Review). Institue of Food Technologies: Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety.2007.
2)    Loredana, Cozzi, Suffredini Elisabetta, Ciccagliono Gianni dan Croci Luciana. Duration Treatment of Mussels Experimentally Contaminated with V. parahaemolyticus and V. vulnificus. Instito Superiore di Sanitia. Itali : Roma. 2009.
3)    A Public Health Alert: Vibrio parahaemolyticus. Alaska Departement of Environmental Conservation.
4)    Siagian, Albiner. Mikroba Patogen pada Makanan dan Sumber Pencemarannya. Universitas Sumatra Utara, Fakultas Kesehatan Masyarakat. 2002.
5)    Daniels, Nicholas A, MD, MPH dan Alireza shafaie, MD. A Review of Pathogenic Vibrio Infections for Clinicans. San Fransisco, University of Californa, School of Medicine. 2000.
6)     Barros, J dan J. Liston. Occurrence of Vibrio parahaemolyticus and Related Hemolytic Vibrios in Marine Environments of Washington State (Jurnal). Institute for Food Science and Technology, College of Fisheries, University of Washington. Washington: Seattle.1970.
7)     Syamsir, Elvira. Kasus Vibrio parahaemolitycus di Dalam Seafood (Review). 2012 [diakses 1 Mei 2012]. Bersumber dari: http://ilmupangan.blogspot.com/2010/04/kasus-vibrio-parahaemolyticus-di-dalam.html
8)     Martinez-Urtaza, J., L. Simental, D. Velasco, A. DePaola, M. Ishibashi, Y. Nakaguchi, M. Nishibuchi, D. Carrera-Flores, C. Rey-Alvarez dan A. Pousa. Pandemic Vibrio parahaemolyticus O3:K6, Emerging Infectious Diseases (Jurnal) 2005 [diakses pada 1 Mei 2012]. Diakses dari:  www.cdc.gov/eid. Vol. 11, No. 8, August 2005.
9)     McLaughlin, J.B., A. DePaola, C.A. Bopp, K.A. Martinek, N.P. Napolilli, C.G. Allison, S.L. Murray, E.C. Thompson, M.M. Bird, and J.P. Middaugh. Outbreak of Vibrio parahaemolyticus Gastroenteritis Associated with Alaskan Oysters (Jurnal) 2005 [diakses tanggal 1 mei 2012]. Diakses dari: The new england journal of medicine 353;14, www.nejm.org.
10)  Balter et al. 2006. Vibrio parahaemolyticus Infections Associated with Consumption of Raw Shellfish – Three States (Jurnal), 2006 [diakses pada 26 April 2012]. Diakses dari: http://www.cdc.gov/epo/dphsi/phs/infdis.htm.



Copyright © 2009 ANGGRAINIREGINA All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.