0
Posted by ANGGRAINIREGINA
on
05:07
Tugas dibawah ini bisa didownload dalam bentuk:
DOC atau PDF
TUGAS MIKROBIOLOGI PANGAN
Vibrio parahaemolyticus
pertama kali diindentifikasikan sebagai penyakit akibat jalur fooborne pada
tahun 1950. Kasus pertama yang dikonfirmasikan terjadi di Amerika pada tahun
1971 dan diasosiasikan dengan konsumsi dari kepiting. Selama hampir kurang
lebih 3 abad, Vibrio parahaemolyticus diimplikasikan sebagai sebab umum dari
gastroenteritis berkaitan dengan seafood (makanan laut).
Gbr.
3 Vibrio parahaemolyticus
DOC atau PDF
TUGAS MIKROBIOLOGI PANGAN
VIBRIO PARAHAEMOLYTICUS
I . Latar Belakang
Infeksi yang
disebabkan oleh Vibrio telah terbukti
sebagai faktor etiologi utama dalam terjadinya: gastroenteritis, infeksi pada
luka dan septicimia. Banyak kasus gastroenteritis yang dikaitkan dengan Vibiro secara teori tidak dikenal,
karena Vibrio tidak ditemukan dalam
kotoran manusia. Beberapa data epidemiologi menunjukkan kebanyakan infeksi ini
didasari oleh infeksi foodborne dari konsumsi bahan pangan berupa
kerang-kerangan yang dikonsumsi dalam bentuk mentah atau tidak matang sempurna.
Membuat beberapa penyedia kesehatan harus mengevaluasi sejarah perjalanan
sebelumnya yang dilakukan oleh pasien yang pada saat didiagnosis mengalami
keadaan diare akut.
Genus Vibrio ini turunan dari family Vibrionaceae, yang termasuk didalamnya
genera Aeromonas, Plesiomonas dan Photobacterium (Atlas 1997). Terdapat 30 jenis genus Vibrio, 13
diantaranya memiliki sifat patogenik pada manusia termasuk didalamnya V. cholerae, V. mimicus, V. fluvialis, V.
parahaemolyticus, V. alginolyticus, V. cincinatiensis, V. hollisae, V.
vulnificus, V. furnissii, V. damsela, V. metshnikovii dan V. carchariae. Ketiga belas jenis vibrio
ini telah dilaporkan memiliki andil dalam terjadinya penyakit oleh foodborne,
tetapi V. cholera, V. parahaemolyticus
dan V. vulnificus dianggap sebagai
agen yang paling signifikan1.
Vibrio parahaemolyticus dan Vibrio fulnificus merupakan patogen bagi
manusia yang terdapat secara natural didalam lingkungan perairan lautan (
Oliver and kaper 1997; West 1989). Beberapa proses panen,
termasuk pengolahan pasteurisasi dengan temperatur rendah dan iradiasi telah
digunakan untuk mengurangi kontaminasi Vibrio2.
Seperti produk hewani lainnya, ikan merupakan
sumber pangan yang mudah rusak. Dengan kandungan air dan protein tinggi, ikan
merupakan tempat sangat cocok sebagai media untuk pertumbuhan mikroba baik
patogen maupun nonpatogen. Kerusakan ikan terjadi segera setelah ikan keluar
dari air, namun aktivitas mikroba yang akan merusak daging ikan baru terjadi
setelah ikan melewati fase rigor mortis.
Kerusakan pada ikan dapat disebabkan oleh
faktor internal (isi perut) dan eksternal (lingkungan), maupun cara penanganan
di atas kapal, ditempat pendaratan atau di tempat pengolahan. Kerusakan ikan
ditandai dengan adanya lendir di permukaan ikan, insang memudar (tidak merah),
mata tidak bening, berbau busuk, dan sisik mudah terkelupas. Ikan dari
perairan pantai sering kali tercemar oleh bakteri Vibrio parahaemolyticus yang dapat menular pada saat transportasi
maupun pemasaran.
Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan,
cemaran bakteri Vibrio sp dan bakteri
pathogen lainnya dalam produk pangan harus negatif, artinya tidak boleh ada.
II. Tujuan
Untuk
mengetahui jalur kontaminasi dari Vibrio parahaemolyticus, akibatnya bagi
manusia, dan cara pencegahan serta pengobatannya.
A.
Morfologi
Gbr.
1 Vibrio parahaemolyticus menggunakan TEM
- Sifat Fisiologis dan
Biokimia:
Pada biakkan, dapat dilihat
bahwa Vibrio membentuk koloni yang cembung (convex), bulat, halus/smooth,
opak, dan tampak bergranula bila diamati dibawah sinar cahaya. Bersifat
halofilik dan dapat tumbuh optimal pada air laut bersalinitas 20-40 ‰
tetapi tidak tahan asam sehingga bakteri Vibrio dapat tumbuh pada pH 4 – 9
dan tumbuh optimal pada pH 6,5 – 8,5 atau kondisi alkali dengan pH 9,0 .
Vibrio juga bersifat aerob atau anaerob fakultatif yaitu dapat hidup baik
dengan atau tanpa oksigen. Sifat biokimia Vibrio adalah dapat meragikan
sukrosa, glukosa, dan manitol menjadi asam tanpa menghasilkan gas, Sedangkan
laktosa dapat diragikan tetapi lambat. Vibrio juga dapat meragikan nitrat
menjadi nitrit. Pada medium pepton (banyak mengandung triptofan dan
nitrat) akan membentuk indol, yang dengan asam sulfat akanmembentuk warna merah
sehingga tes indol dinyatakan positif.
- Agen:
Vibrio parahaemolyticus merupakan Vibrio (bakteri) yang secara natural berada
pada lingkungan perairan lautan3.
- Periode Inkubasi:
onset terjadinya penyakit dari 4 sampai 30 jam setelah terpapar (biasanya 12-24
jam)3.
- Sifat Patogenitas:
Dalam keadaan
alamiah, bakteri ini hanya patogen terhadap manusia, tetapi secara eksperimen
dapat juga menginfeksi hewan. Hewan laut yang telah terinfeksi Vibrio khususnya Udang, akan mengalami
kondisi tubuh lemah, berenang lambat, nafsu makan hilang, badan mempunyai
bercak merah-merah (red discoloration) pada pleopod dan abdominal serta pada
malam hari terlihat menyala. Udang yang terkena Vibriosis akan menunjukkan
gejala nekrosis. Serta bagian mulut yang kehitaman adalah
kolonisasi bakteri pada esophagus dan mulut. Vibrio tidak bersifat invasif, yaitu tidak pernah masuk
kedalam sirkulasi darah tetapi menetap di usus sehingga dapat menyebabkan
gastritis pada manusia. Masa inkubasi bakteri ini antara 6 jam
sampai 5 hari. Vibrio
menghasilkan enterotoksin yang tidak tahan asam dan panas, musinase, dan
eksotoksin. Toksin diserap dipermukaan gangliosida selepitel dan merangsang
hipersekresi air dan klorida sehingga menghambat absorpsinatrium. Akibat
kehilangan banyak cairan dan elektrolit, terjadilah kram perut, mual, muntah,
dehidrasi, dan shock (turunnya laju aliran darah secara tiba-tiba).
Kematian
dapat terjadi apabila korban kehilangan cairan dan elektrolit dalam jumlah
besar.Penyakit ini disebabkan karena korban mengkonsumsi bakteri hidup, yang
kemudian melekat pada usus halus dan menghasilkan toksin. Produksi toksin oleh
bakteri yang melekat ini menyebabkan diare berair yang merupakan gejala
penyakit ini.
Proses
ini dapat dibuktikan dengan pemberian viseral antibodi. Bila terjadi
dehidrasi, maka diberikanlah cairan elektrolit. Immunitas pasif dapat
dilakukan dengan memberikan viseral antibodi dan viseral antitoksin yang
dapat mengurangi cairan tanpa mematikan kuman. Vibrio jenis lain juga
dapat menghasilkan soluble hemolysin yang dapat melisiskan sel darah
merah. Struktur antigen Vibrio baik
yang patogen maupun nonpatogen memiliki antigen-H tunggal yang sejenis dan
tidak tahan panas. Antigen-H ini sangat heterogen dan juga banyak terjadi
overlapping dengan bakteri lain.Gartnor dan Venkatraman membagi antigen-O
Vibrio menjadi grup O1-O6. Yang patogen bagi manusia adalah grup O1 dari
Vibrio coma. Antibodi terhadap antigen-O bersifat protektif sehingga
Ogawa, Inaba, dan Hikojima membagi tiga serotip yang mewakili tiga faktor gen
yaitu A, B, dan C
Antara
tahun 1988 dan 1997, review pada infeksi Vibrio
parahaemolyticus di Amerika didapatkan antara 59% mengalami
gastroenteritis, 34% infeksi pada luka, 5% septicema dan 2% infeksi lainnya.
Vibrio parahaemolyticus merupakan
bakteri Gram Negatif, berbentuk seperti batang yang secara natural ada di
lingkungan laut. Transmisi dari infeksi Vibrio secara primer melalui konsumsi
dari kerang-kerangan yang mentah atau kurang matang, atau ekspos dari luka yang
terbuka oleh air laut yang berbahaya.
Gbr. 2 Vibrio
parahaemolyticus yang dikulturkan.
- Manifetasi Klinik:
Manifetasi
klinik yang paling umum terjadi adalah gastroenteritis yang self-limited (bisa
sembuh sendiri), tetapi infeksi pada luka dan septicemia primer juga bisa
terjadi.
Seafood yang merupakan produk hasil laut, memberikan semua kondisi yang dibutuhkan oleh Vibrio
parahaemolyticus untuk tumbuh dan berkembang biak: keberadaan garam,
nutrien yang baik serta pH dan Aw yang cocok sehingga Vibrio parahaemolyticus sering terdapat sebagai flora normal di dalam seafood.
Mereka terkonsentrasi dalam saluran pencernaan moluska, seperti kerang, tiram dan
mussel yang me ndapatkan
makanannya dengan cara mengambil dan menyaring air laut.
Pasien
yang memiliki penyakit hati (liver disease) memiliki resiko yang tinggi
mengalami kematian dan kesakitan yang diasosiasikan dengan infeksi ini.
Gejala
penyakit ini ada dalam tahap ringan sampai sedang,dan self limited, walaupun
beberapa kasus memerlukan perwatan intensif dari rumah sakit.
B.
Taksonomi
Klasifikasi
|
Nama
|
Kingdom
|
Eubacteria
|
Divisi
|
Bacteri
|
Class
|
Schizomycetes
|
Ordo
|
Eubacteriales
|
Famili
|
Vibrionaceae
|
Genus
|
Vibrio
|
Species
|
•
Vibrio anguilarum,
•
Vibrio alginolyticus,
•
Vibrio cholerae,
•
Vibrio salmonicida,
•
Vibrio vulnificus,
• Vibrio parahaemolyticus
|
Secara
umum, Vibrio parahaemolyticus muncul
diasosiasikan dengan habitat yang mengandung nutrisi. Ini berhubungan dengan
baik pada kemampuan spesifik dari vibrio
dalam menggunakan berbagai macam jenis dari biokemikal organik. Beberapa data
juga menunjukkan bahwa lingkungan yang terpapar dari kotoran hewan mengandung
Vibrio parahaemolyticus lebih tinggi dibanding lingkungan perairan yang rendah
bahan-bahan organik. Korelasi ini memerlukan investigasi lebih lanjut5.
Manusia/seseorang
yang menelan vibrio melalui konsumsi dari air atau makanan yang terkontaminasi
bisa mengakibatkan gastroenteritis3.
Faktor virulensi yang
berperan akibat Vibrio parahaemolyticus
patogen menyebabkan beta-hemolysis, faktor adherence/ketaatan, berbagai macam
enzim dan hasil produk dari tdh, trh dan gen ure. Patogenitas Vibrio parahaemolyticus
sendiri diasosiasikan dengan fenomena kanagawa (KP).
Pengkonsumsian
dari moluska mentah, atau organisme penyaring lainnya dapat meningkatkan
konsetrasi bakteri dalam jumlah besar bagi yang mengkonsumsi. Beberapa proses
panen, termasuk pengolahan pasteurisasi dengan temperatur rendah dan iradiasi
telah digunakan untuk mengurangi kontaminasi Vibrio.
- Gejala:
yang paling sering terjadi adalah diare berair dan kram dibagian abdominal,
orang tersebut bisa mengalami mual, muntah, demam dan sakit kepala. Buang air
besar berdarah dan mangandung mucoid sering dilaporkan terjadi, sedangkan
kegagalan sistem organ atau kematian merupakan hal yang jarang3.
- Durasi penyakit atau
perawatan: gejala simptomatis dalam kurun waktu 1-7
hari. Tidak ada perawatan yang spesifik dalam infeksi yang diakibatkan oleh
Vibrio parahaemolyticus.
- Deteksi dan inisiasi: Deteksi
dini dan perawatan inisiasi dari infkesi vibrio ini sangatlah penting, apalagi
untuk jenis seperti Cholera dan Vibrio parahaemolyticus karena bisa secara
cepat menyebabkan kematian. Pencegahan dari infeksi Vibrio ini adalah dengan
meningkatkan dan menegaskan kewaspadaan oleh clinician, teknisi laboratorium dan epidemiologis.
- Contoh jenis Kasus:
Kasus-kasus Kejadian Luar Biasa
(KLB) Vibrio parahaemolyticus karena
konsumsi seafood di dunia:
1) Laki-laki
dengan umur 50 tahun memiliki demam dengan temperatur 38,5oC dan
lesi nekrotis pada kulit dilengan kirinya. Dia mengatakan bahwa ia mengalami
luka kecil pada tangannya saat dia sedang memancing.sehari kemudian ia berenang
di perairan Atlantis Selatan pinggir Florida. Hari berikutnya, disekitar luka
mulai terlihat kemerahan, rasa sakit serta pembengkakkan. Pasien tersebut
dibawa ke rumah sakit engan keluhan cellulitis dan diberikan cefazolin dan
gentamicin. Cellulitis kemudian mulai menyebar dari lengan sampai keseluruhan
tangan, menyebabkan ulcerasi dan nekrosis yang memerlukan debridement yang
agresif. Pasien tersebut bisa disembuhkan namun hamper mengalamai amputasi pada
tanganny. Dan diisolasikan Vibrio
parahaemolyticus pada kultur luka yang dimilikinya.
2) Beberapa
kasus KLB V. parahaemolyticus di
Chile karena konsumsi seafood
mentah.
Sebelum 2004, kasus keracunan karena V. parahaemolyticus
jarang terjadi di Chile dan hal ini terkait dengan kondisi suhu perairan yang
rendah (11-16°C). Pada saat KLB terjadi, suhu permukaan air laut mencapai
18.3–19.2°C (Puerto Montt, KLB 2004 dan 2005) dan 20°C (Antofagasta, KLB
1997–1998).
3) Di
Spanyol, rekaman medis dari beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa infeksi V. parahaemolyticus lebih sering dari
yang diduga. Dari rekaman medis, V.
parahaemolyticus teridentifikasi dari sampel klinis pasien gastroenteritis
di Barcelona (1986, 1987 dan 1999), Zaragoza (1993) dan Madrid (1998 dan 2000).
Kasus KLB terjadi pada tahun 1999 dan 2004, disebabkan oleh konsumsi seafood
mentah dan yang telah
dimasak.
Kepiting rebus yang merupakan penyebab KLB Juli 2004, dimasak pada kondisi
higiene dan sanitasi yang buruk dan kemudian disimpan di suhu ruang selama
beberapa jam sebelum dikonsumsi8.
4) Pada
periode 1986 – 1995, setiap tahun rata-rata terjadi 85 KLB karena V. parahaemolyticus. Insiden KLB V. parahaemolyticus melonjak drastis
pada 1996 dan bertahan hingga sekarang. Pada 1996–1999, 61-71% dari total KLB
keracunan pangan di Taiwan disebabkan
oleh V. parahaemolyticus 9.
5) Di
Amerika Serikat, sepanjang 1973 – 1998 terjadi 40 kasus KLB V. parahaemolyticus di 15 negara bagian
dan wilayah Guam dengan 1064 penderita dan median tingkat serangan 56% (3 -
100%) dimana sebagian besar kasus terjadi di bulan Juli. Pembawa adalah seafood
atau yang terkontaminasi dengan seafood, terutama yang dikonsumsi mentah (38%
kasus) atau setengah matang. Penyebab utama adalah tiram dan kerang. Pada
periode ini, 30% KLB terjadi pada 1997 – 1998 dan tiga diantaranya cukup besar.
Pada Juli–Agustus 1997, keracunan disebabkan oleh konsumsi tiram mentah dari
Puget Sound, Washington; dua kasus KLB gastroenteritis V. parahaemolyticus pada Mei–Juni 1998 terjadi karena mengkonsumsi
tiram mentah yang berasal dari Galveston Bay, Texas dan di akhir Juli 1998, KLB
V. parahaemolyticus terkait dengan
konsumsi tiram dan kerang mentah yang berasal dari Teluk Oyster, Long Island, New York10.
6) Kasus
KLB juga terjadi di Alaska pada Juli 2004, yang disebabkan oleh tiram Alaska
dengan tingkat serangan 29%. Suhu air laut di daerah pemanenan pada Juli 2006
tercatat di atas 15°C7.
7) Kasus
KLB V. parahaemolyticus di New York,
Oregon dan Washington, kembali terjadi pada 20 Mei – 31 Juli 2006 setelah
mengkonsumsi tiram dan remis dalam bentuk mentah atau masak yang dimakan di
restoran. Dari 177 kasus yang secara epidemiologis terhubung dengan infeksi V. parahaemolyticus, 41% positif
disebabkan oleh Vp berdasarkan analisis sampel klinis penderita. Tiram dan
remis berasal dari daerah pantai Washington dan British Columbia, Canada; yang
didistribusikan secara nasional ke pasar ikan dan restoran. Luasnya daerah
pemasaran berdampak pada meluasnya daerah sebaran penyakit. Pada KLB 2006, 122
kasus berasal dari 17 sumber seafood yang sama. Kasus ini berimplikasi pada
penutupan perusahaan pemanenan tiram yang merupakan pemasok utama tiram penyebab KLB10.
Dari
beberapa kasus KLB yang terjadi dapat disimpulkan bahwa keracunan karena V. parahaemolyticus merupakan kasus
musiman yang kemunculannya sangat terkait dengan meningkatnya suhu perairan.
Dari data yang ditampilkan terlihat bahwa keracunan biasanya terjadi pada
bulan-bulan yang suhunya hangat (musim panas), dimana suhu permukaan laut lebih
besar dari 15°C. Seafood yang paling sering dilaporkan sebagai penyebab
keracunan adalah tiram dan kerang.
Besarnya
frekuensi keracunan karena V.
parahaemolyticus terkait juga dengan cara mengkonsumsi seafood.
Besarnya
prevalensi kasus keracunan V.
parahaemolyticus di Taiwan disebabkan oleh kebiasaan masyarakatnya untuk
mengkonsumsi seafood dalam kondisi mentah. Kondisi yang sama tampaknya juga
terjadi di beberapa negara Asia lainnya yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi
seafood mentah, seperti Jepang dan Thailand. Pada kasus keracunan yang terjadi setelah
mengkonsumsi seafood yang dimasak, faktor penyebab adalah proses pemasakan yang
tidak sempurna sehingga tidak membunuh semua V. parahaemolyticus yang ada, atau proses penanganan yang buruk
(kondisi higiene dan sanitasi tidak terjaga, seafood disimpan disuhu ruang
selama beberapa jam sebelum diolah/dikonsumsi, atau terjadinya kontaminasi
silang antara produk yang telah dimasak dengan produk mentah)7.
- Dosis yang menyebabkan
manifestasi: Sebuah
studi menunjukkan bahwa dosis V.
parahaemolyticus yang terkonsumsi bisa menyebabkan infeksi berkisar antara
105 sampai 107 sel hidup (viable) yang tertelan.
D.
Akibat
Antara
tahun 1988 dan 1997, review pada infeksi V.
parahaemolyticus di Amerika didapatkan antara 59% mengalami
gastroenteritis, 34% infeksi pada luka, 5%septicemoa dan 2% infeksi lainnya.
Bukti-bukti yang menunjukkan
adanya keterlibatan Vibrio parahaemolyticus dalam beberapa insiden keracunan
makanan akibat konsumsi kerang-kerangan. Pada sampel kerang-kerangan yang
dites, ternyata mengimplikasi kadar Vibrio
parahaemolyticus yang tinggi, dengan perhitungan antara 100.000 sampai 10juta
per gram daging kerang-kerangan, diamana bakteri entero patogen dan virus tidak
ditemukan6.
Keadaan
yang sering terjadi jika seseorang terkontaminasi dan terinfeksi oleh Vibrio parahaemolyticus:
1) Gastroenteritis,
yang paling sering terjadi adalah kondisi diare berair dan kram dibagian
abdominal, orang tersebut bisa mengalami mual, muntah, demam dan sakit kepala.
Buang air besar berdarah dan mangandung mucoid sering dilaporkan terjadi,
sedangkan kegagalan sistem organ atau kematian merupakan hal yang jarang3.
2) Muntaber
atau Vibrio Parahaemolyticus Enteritis
adalah keadaan di mana seseorang menderita muntah-muntah disertai buang air
besar berkali-kali. Kejadian itu dapat berulang tiga sampai lebih sepuluh kali
dalam sehari. Terjadi perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, melembek
sampai mencair, yang kadang juga mengandung darah atau lendir. Lazimnya,
penyakit muntaber memang menyerang anak-anak, terutama pada usia dua hingga
delapan tahun. Mereka mudah tertular karena daya tahan tubuhnya belum sekuat
orang dewasa.
Penyebab utama muntaber adalah peradangan usus oleh bakteri, virus, parasit lain (jamur, cacing, protozoa), keracunan makanan (sering disebabkan oleh makanan laut/seafood) atau minuman yang disebabkan oleh bakteri maupun bahan kimia serta kurang gizi,
Muntaber yang disebabkan oleh bakteri Vibrio parahaemolyticus yang
Banyak diantara penderita muntaber yang melakukan terapi-terapi dalam mengatasi penyakit yang dialaminya. Baik sendiri maupun dengan ditangani dokter.
Penyebab utama muntaber adalah peradangan usus oleh bakteri, virus, parasit lain (jamur, cacing, protozoa), keracunan makanan (sering disebabkan oleh makanan laut/seafood) atau minuman yang disebabkan oleh bakteri maupun bahan kimia serta kurang gizi,
Muntaber yang disebabkan oleh bakteri Vibrio parahaemolyticus yang
Banyak diantara penderita muntaber yang melakukan terapi-terapi dalam mengatasi penyakit yang dialaminya. Baik sendiri maupun dengan ditangani dokter.
3) Septicemia
fulminat dari V. parahaemolyticus
dilaporkan memiliki karakteristik: erythema sindrom, anemia hemolitik dan
hipotensi sama seperti enterici bakteri lainnya seperti Salmonella, Shigella,
Campylobacter dan Yersinia, V.
parahaemolyticus juga terdapat indikasi arthritis reaktif atau sindrom
Reiter4.
E.
Pencegahan
- Pengaruh penanganan pasca panen
terhadap prevalensi dan tingkat cemaran Vp di dalam seafood
Vibrio
parahaemolyticus menyukai kisaran suhu 5 - 43°C untuk
pertumbuhannya, dengan suhu pertumbuhan optimum 37°C. Pertumbuhan berlangsung
cepat pada kondisi suhu optimum, dengan waktu generasi hanya 9–10 menit. Nilai
pH optimum pertumbuhan V.
parahaemolyticus adalah 4.8–11, dan ketahanan terhadap keasaman akan meningkat
jika suhu lingkungan mendekati kondisi suhu pertumbuhan optimum. Walaupun lebih
menyukai kondisi lingkungan anaerob untuk pertumbuhannya, V. parahaemolyticus juga dapat tumbuh pada kondisi aerob. Bakteri
ini tergolong halofilik dengan kadar NaCl o ptimum 3% dan membutuhkan aw
0.94-0.99 dengan optimum 0.98 untuk pertumbuhannya9.
Seafood yang berasal
dari daerah laut, memberikan semua kondisi yang dibutuhkan oleh V. parahaemolyticus untuk tumbuh dan
berkembang biak. Guna mencegah terjadinya bahaya karena mengkonsumsi seafood,
perlu dilihat prevalensi dan tingkat kontaminasi Vp pada seafood yang dijual di
tingkat ritel serta pengaruh kondisi penanganan pasca panen seafood terhadap
prevalensi dan tingkat kontaminasi Vp didalamnya.
Pada beberapa kasus
yang meneliti prevalensi dan tingkat kontaminasi V. parahaemolyticus didalam seafood selama terjadinya KLB diketahui
bahwa jumlah V. parahaemolyticus di
dalam sampel selama periode kejadian tersebut jauh lebih kecil dari batas
maksimum yang diijinkan oleh FDA, yaitu 104 sel per-gram.
Rendahnya tingkat kontaminasi V.
parahaemolyticus (<104 sel per-gram) di dalam sampel
seafood yang diambil dari tempat asal seafood penyebab kontaminasi ini
menyebabkan perlunya peninjauan kembali terhadap batas maksimal tingkat cemaran
V. parahaemolyticus yang diijinkan di
dalam seafood terutama yang akan dikonsumsi mentah. Rendahnya prevalensi dan
tingkat cemaran V. parahaemolyticus
patogen (<100 sel per-gram) di dalam seafood yang terdeteksi selama
terjadinya KLB, menyebabkan perlu pula dibuat standar tingkat kontaminasi V. parahaemolyticus patogen maksimal di
dalam seafood terutama yang akan dikonsumsi.
Terjadinya kasus
epidemik yang besar dengan mengkonsumsi seafood yang terdeteksi hanya
mengandung V. parahaemolyticus dalam
jumlah kecil dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Untuk Vp patogen, penelitian
Osawa dan Yamai (1996) secara in vitro membuktikan bahwa kemampuan V. parahaemolyticus patogen memproduksi
tdh dapat diperkaya oleh adanya asam empedu terkonjugasi, asam glikokolat dan
asam taurokolat. Selain itu, diduga bahwa dosis infeksi dari strain patogen
sangat rendah7.
Pertumbuhan V. parahaemolyticus berlangsung cepat
pada penyimpanan di suhu ruang dan dapat diperlambat atau diturunkan dengan
penyimpanan di suhu rendah. Didalam media hancuran tiram, jumlah V. parahaemolyticus dapat diturunkan
jika suhu penyimpanan adalah 4, 0, -18 atau –24°C. Penurunan jumlah V. parahaemolyticus sebesar 7% per-hari
juga dilaporkan terjadi pada tiram yang disimpan pada kondisi komersial7.
Pada penelitian lain, pertumbuhan V.
parahaemolyticus didalam tiram diukur pada 26°C, menunjukkan peningkatan
sebesar log 1.7 setelah penyimpanan 10 jam dan log 2.9 setelah penyimpanan 24
jam10. Jika sampel tiram kemudian
disimpan pada 3°C, maka jumlah V.
parahaemolyticus akan menurun sebesar log 0.8 setelah 14 hari penyimpanan.
- Pencegahan
yang efektif
Dari laporan
penelitian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pada seafood yang disimpan di
suhu refrigerasi, tidak terjadi pertumbuhan dan malahan terjadi penurunan
jumlah dari V. parahaemolyticus.
Hanya saja, pemanenan yang berlangsung pada kondisi suhu air yang relatif
tinggi (misalnya di musim panas), mungkin menyebabkan seafood mengalami
penundaan waktu untuk mencapai suhu aman (suhu refrigerasi) yang memungkinkan
terjadinya pertumbuhan V.
parahaemolyticus pada periode itu. Selain hal ini, faktor keterlambatan
penyimpanan di suhu rendah juga menyebabkan peningkatan jumlah V. parahaemolyticus.
Beberapa proses
penanganan pasca panen efektif untuk menekan tingkat kontaminasi V. parahaemolyticus didalam seafood. Proses pasteurisasi tiram pada suhu 50°C
selama minimal 10 menit efektif untuk menurunkan jumlah V. parahaemolyticus dari >10000 koloni menjadi tidak terdeteksi10.
Proses iradiasi sinar gamma (Co60) juga dapat menurunkan tingkat kontaminasi V. parahaemolyticus8.
Dosis 1 kGy bisa menurunkan tingkat kontaminasi V. parahaemolyticus sebesar 6-10 log. Sampai dosis 3 kGy, proses
tidak membunuh tiram dan juga tidak menyebabkan penyimpangan bau, flavor dan
penampakan tiram.
F. Perawatan/pengobatan:
V. parahaemolyticus strain
yang menyebabkan gastroenteritis bisa diaplikasikan agen antimikroba yang bisa
digunakan sebagai infeksi enteric, walaupun beberapa pasien dengan
gastroenteritis secara efektif bisa diobati dengan rehidrasi oral. Namun pasien
dengan infeksi luka dan septicemia akibat V.
parahaemolyticus bisa menggunakan agen intrevena antimikroba4.
Resistensi: Resistensi sel mikroba adalah suatu sifat tidak terganggunya sel mikroba
oleh antibiotik. Sejumlah
isolat Vibrio yang diisolasi dari udang ternyata resisten terhadap berbagaimacam
antibiotik seperti spektinomisin, amoksisilin, kloramfenikol,
eritromisin,kanamisin, tetrasiklin, ampisilin, streptomisin, dan rifampisin.
A. Kesimpulan
1. Seafood
terutama tiram yang dimakan mentah merupakan jenis pangan yang paling sering
membawa V. parahaemolyticus penyebab
gastroenteritis. Kasus keracunan karena V.
parahaemolyticus lebih banyak terjadi pada musim panas.
2. Vibrio
parahaemolyticus yang tertelan atau masuk kedalam luka terbuka pada tubuh
manusialah yang bisa menyebabkan terjadinya infeksi.
3. Prevalensi
dan jumlah kontaminasi V.
parahaemolyticus pada sampel seafood lingkungan meningkat dengan
meningkatnya suhu perairan. Tingkat salinitas air laut juga berpengaruh pada
tingkat kontaminasi.
4. Praktek
penyimpanan di suhu rendah (<4°C) dapat menekan dan menurunkan tingkat
pertumbuhan V. parahaemolyticus.
Selain itu, proses pasteurisasi minimal (50°C, 15 menit) dan iradiasi sinar
gamma 3 kGy dapat meningkatkan keamanan pangan dari produk-produk seafood.
DAFTAR PUSTAKA
1) Drake,
Stephanie L, Angelo DePaola dan Lee-Ann Jaykus. An Overview of Vibrio vulnificus and Vibrio parahaemolyticus (Review).
Institue of Food Technologies: Comprehensive Reviews in Food Science and Food
Safety.2007.
2) Loredana,
Cozzi, Suffredini Elisabetta, Ciccagliono Gianni dan Croci Luciana. Duration Treatment of Mussels Experimentally
Contaminated with V. parahaemolyticus and V. vulnificus. Instito Superiore
di Sanitia. Itali : Roma. 2009.
3) A
Public Health Alert: Vibrio parahaemolyticus.
Alaska Departement of Environmental Conservation.
4) Siagian, Albiner. Mikroba
Patogen pada Makanan dan Sumber Pencemarannya. Universitas Sumatra Utara,
Fakultas Kesehatan Masyarakat. 2002.
5) Daniels,
Nicholas A, MD, MPH dan Alireza shafaie, MD. A Review of Pathogenic Vibrio Infections for Clinicans. San
Fransisco, University of Californa, School of Medicine. 2000.
6) Barros,
J dan J. Liston. Occurrence of Vibrio
parahaemolyticus and Related Hemolytic Vibrios in Marine Environments of
Washington State (Jurnal). Institute for Food Science and Technology,
College of Fisheries, University of Washington. Washington: Seattle.1970.
7) Syamsir, Elvira. Kasus
Vibrio parahaemolitycus di Dalam Seafood (Review). 2012 [diakses 1 Mei 2012]. Bersumber dari: http://ilmupangan.blogspot.com/2010/04/kasus-vibrio-parahaemolyticus-di-dalam.html
8) Martinez-Urtaza,
J., L. Simental, D. Velasco, A. DePaola, M. Ishibashi, Y. Nakaguchi, M.
Nishibuchi, D. Carrera-Flores, C. Rey-Alvarez dan A. Pousa. Pandemic Vibrio parahaemolyticus O3:K6, Emerging Infectious Diseases (Jurnal)
2005 [diakses pada 1 Mei 2012]. Diakses
dari: www.cdc.gov/eid. Vol.
11, No. 8, August 2005.
9) McLaughlin,
J.B., A. DePaola, C.A. Bopp, K.A. Martinek, N.P. Napolilli, C.G. Allison, S.L.
Murray, E.C. Thompson, M.M. Bird, and J.P. Middaugh. Outbreak of Vibrio parahaemolyticus Gastroenteritis Associated with
Alaskan Oysters (Jurnal) 2005 [diakses tanggal 1 mei 2012]. Diakses dari: The
new england journal of medicine 353;14, www.nejm.org.
10) Balter
et al. 2006. Vibrio parahaemolyticus
Infections Associated with Consumption of Raw Shellfish – Three States (Jurnal), 2006 [diakses pada 26 April 2012]. Diakses dari: http://www.cdc.gov/epo/dphsi/phs/infdis.htm.